![]() |
Oleh : |
Ridho Afrianedi, S.H.I., Lc., M.H. |
MEMAKSIMALKAN POTENSI TANAH WAKAF YANG BERASAL
DARI TANAH ULAYAT DENGAN MENDIRIKAN RUMAH SUSUN
Oleh: Ridho Afrianedy
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Sebagai mayoritas di Indonesia, umat Islam Indonesia tidak asing lagi dengan istilah wakaf. Sejak Islam masuk ke Indonesia dan menyebar keberbagai daerah dan pelosok di nusantara ini tentu masalah wakaf menjadi kajian para ulama-ulama terdahulu.
Kajian wakaf pada awalnya ditemukan dalam literatur-literatur kitab-kitab fiqih baik yang berbahasa arab maupun yang telah diterjemahkan atau ada tulisan asli dari ulama Indonesia dalam bahasa Indonesia. Sehingga kajian wakaf terus ada seiring dengan dijadikan materi kajian di berbagai pondok pensantren di Indonesia.
Seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam serta dorongan dari kalangan para ulama dan cendekiawan Islam agar membumikan wakaf sebagai salah satu bagian hukum Islam menjadi peraturan perundang-undangan yang diakui sebagai bagian dari hukum positif.
Akan tetapi wakaf yang pada awalnya hanya dipakai untuk wakaf benda tidak bergerak berupa tanah telah berkembang dengan munculnya ijtihad-ijtihad para ulama agar penyebaran wakaf serta kebutuhan akan wakaf tidak hanya terbatas pada tanah. Maka tak heran saat sekarang ini kita ada wakaf uang, wakaf Al Qur’an, wakaf kendaraan bermotor dan sebagainya.
Terobosan hukum diperlukan untuk menjawab persoalan yang ada, karena tiap zaman dan tempat permasalahan pasti berbeda, diantaranya ditengah kota yang padat penduduk pasti akan menemukan persoalan dan kesulitan dalam mencari tempat tinggal disertai keterbatasan lahan, maka prinsip syariah yaitu mengutamakan kemaslahatan umum lebih diutamakan daripada individu atau golongan, oleh karena itu solusi rumah susun pada era sekarang merupakan solusi yang tepat.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas, diatas tanah wakaf bisa didirikan rumah susun. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang disahkan pada tanggal 10 Nopember 2011 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
- Rumusan Masalah
- Bagaimana urgensi ijtihad para ulama mengenai wakaf?
- Bagaimana diatas tanah wakaf bisa didirikan rumah susun?
BAB II
PEMBAHASAN
- Definisi Wakaf.
Wakaf berasal dari bahasa arab dengan asal kata waqafa-yaqifu-waqfan dengan arti berhenti atau berdiri. Sehingga dapat dipahami secara langsung istilah wakaf itu sendiri merupakan kosakata serapan dari bahasa arab yang sangat kuat hubungan agama Islam.
Sedangkan wakaf secara definisi hukum Islam adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan[1].
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakan untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Kemudian pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluaan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
- Urgensi ijtihad ulama mengenai wakaf.
Dari segi definisi wakaf diatas, dapat disimpulkan wakaf baru terbatas pada objek tanah milik, akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman dari masa ke masa para ulama dan cendekiawan Islam mulai berupaya berijtihad sesuai dengan kondisi dan zamannya agar bagaimana wakaf tidak terbatas hanya tanah saja.
Kalau ditelusuri, dari mayoritas hadits nabi yang menyinggung masalah wakaf dapat diketahui objek wakaf ketika itu adalah tanah, sehingga pemahaman para sahabat nabi hingga zaman berikutnya memahami wakaf hanya terbatas pada objek tanah.
Para ulama kontemporer setelah melakukan proses ijtihad yang mendalam mengenai wakaf, mereka berkesimpulan bahwa wakaf tidak hanya terbatas dengan tanah saja akan tetapi bisa dengan objek lain dengan syarat tidak cepat musnah ketika diambil manfaatnya serta untuk kepentingan ibadah dan kepentingan umum.
Upaya ulama ini merupakan usaha pembentukan hukum melalui ijtihad dengan cara mengkaji unsur-unsur illat yang terdapat dalam hukum Islam. Dengan mempelajari illat hukum Islam secara mendetail akan dapat mengetahui secara persis tentang rahasia-rahasia yang terkandung dalam ajaran Al Qur’an dan Al Hadits. Ijtihad itu juga akan memberikan sinyal secara konkret tentang adanya sebab-sebab dan hikmah-hikmah tertentu yang terkandung dalam hukum Islam[2].
Ijtihad juga kadang-kadang mengalami perubahan-perubahan yang mendasar disebabkan oleh beberapa hal, antara lain[3]:
- Adanya perubahan kepentingan masyarakat.
- Adanya pengaruh adat kebiasaan dan urf (kebudayaan).
- Faktor lingkungan, ruang dan waktu.
- Faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan demikian, para ulama sekarang ini berpendapat wakaf bisa bentuk benda bergerak dan benda tidak bergerak. Tidak sebatas tanah sebagai wujud benda tidak bergerak sebagaimana yang telah ada pada berbagai riwayat para sahabat akan tetapi dengan perkembangan zaman serta untuk kepentingan kesejahteraan umum wakaf bisa dalam bentuk yang lain.
Dan berdasarkan Pasal 16 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yaitu ayat (1) berbunyi harta benda wakaf terdiri dari a. Benda tidak bergerak dan b. Benda bergerak. Dalam ayat (2) berbunyi benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar, b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri diatas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a, c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah, d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan ayat (3) berbunyi benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikomsumsi, meliputi: a. Uang, b. Logam mulia, c. Surat berharga, d. Kendaraan, e. Hak atas kekayaan intelektual, f. Hak sewa, dan g. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Pendayagunaan Tanah Wakaf Diatas Tanah Ulayat Untuk Rumah Susun.
Sebagaimana yang telah diketahui, tanah ulayat tidak bisa dibagi dan tidak bisa dijadikan objek jual beli kepada pihak lain, karena tanah ulayat itu dihormati untuk kepentingan masyarakat adat dalam artian tanah ulayat merupakan tempat mereka hidup dan mendapatkan kehidupan secara bersama bukan atas nama individu.
Sedangkan tanah wakaf harus merupakan hak milik pemiliknya yang akan diserahkan kepada pihak yang menerima tanah wakaf yang disebut dengan nazhir. Sedangkan wakif itu sendiri sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 haruslah perseorangan atau organisasi atau badan hukum.
Dalam hal ini masyarakat adat yang memiliki tanah ulayat apakah bisa mewakafkan tanahnya kepada pihak penerima tanah wakaf untuk dikelola demi kepentingan dan kesejahteraan umum?. Pertanyaan ini perlu dijawab agar duduk permasalahan bisa jelas dan terang untuk pembahasan selanjutnya.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, berdasarkan ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menerangkan bahwa benda wakaf itu dilarang dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya, hal ini ini tentu sama dengan kedudukan tanah ulayat yang juga tidak boleh diperjual belikan.
Perwakafan tanah bertujuan untuk selama-lamanya atau dalam kata lain bersifat abadi. Sedangkan tanah ulayat juga seperti itu tidak dapat dibagi dan hanya untuk keperluan masyarakat adatnya. Dan kalau ditarik benang merahnya pendayagunaan tanah wakaf yang berasal dari tanah ulayat akan memberikan dampak positif untuk kesejahteraan masyarakat adat tersebut dari sewa dan pemanfaatannya dengan prinsip syariah.
Dan berdasarkan ketentuan Pasal 39 huruf (c) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentan Wakaf menerangkan bahwa terhadap tanah yang belum berstatus hak milik yang berasal dari tanah milik adat langsung didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama nazhir.
Kemudian peruntukan tanah wakaf pun harus jelas yaitu untuk keperluan ibadah dan kesejahteraan umum masyarakat serta pelaksanaannya sesuai dengan prinsip syariah. Sedangkan pendayagunaan tanah wakaf untuk rumah susun umum dan rumah susun khusus berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 dilakukan dengan cara sewa atau kerjasama pemanfaatan sesuai dengan ikrar wakaf.
Dari sisi ini pendayagunaan tanah wakaf akan memperoleh timbal balik positif bagi wakifnya baik berupa amal jariyah serta kesejahteraan bagi masyarakat umum dari sewa rumah susun tersebut yang berdasarkan prinsip syariah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang menerangkan bahwa larangan harta wakaf ditukar dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah.
Kemudian pada Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Wakaf ini menjelaskan bahwa pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana pada ayat (1) dilakukan secara produktif. Dalam penjelasan Undang-Undang ini menerangkan bahwa maksud produktif adalah dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunam gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana kesehatan dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariah.
Dan yang perlu diperhatikan oleh masyarakat adat yang telah menyerahkan tanah ulayatnya untuk menjadi tanah wakaf kepada nazhir untuk kepentingan umum berupa rumah susun umum dan rumah susun khusus yaitu tanah wakaf tersebut tidak bisa dibatalkan serta tidak boleh ditukar peruntukannya oleh nazhir semaunya saja.
Pendayagunaan tanah wakaf untuk rumah susun sangat menbantu masyarakat berpenghasilan rendah dalam mencari tempat hunian ditengah kota yang padat serta dekat dengan tempat kerja. Dan tanah wakaf tersebut akan termaksimalkan potensi ekonominya karena dengan adanya pemukiman maka ekonomi pasti hidup dan berkembang disekitarnya dan tanah ulayat yang pada awalnya tidak ada yang mengelolanya menjadi nilai manfaat yang luar biasa setelah menjadi tanah wakaf baik berupa amal jariyah, membantu masyarakat berpenghasilan rendah karena harga sewa yang murah dan membantu kesejahteraan masyarakat sekitar dengan tumbuhnya ekonomi dan ini sesuai dengan prinsip syariah yang mengutamakan kemaslahatan (kebaikan) bersama daripada individu atau golongan dan merupakan terobosan penting ditengah keterbatasan lahan.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari pembahasan ini, penulis dapat simpulkan sebagai berikut:
- Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluaan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
- Terobosan hukum diperlukan untuk menjawab persoalan yang ada, karena tiap zaman dan tempat permasalahan pasti berbeda, diantaranya ditengah kota yang padat penduduk pasti akan menemukan persoalan dan kesulitan dalam mencari tempat tinggal disertai keterbatasan lahan, maka prinsip syariah yaitu mengutamakan kemaslahatan umum lebih diutamakan daripada individu atau golongan, oleh karena itu solusi rumah susun pada era sekarang merupakan solusi yang tepat.
- Saran
Pemerintah diharapkan melakukan pengawasan yang intensif terhadap tanah wakaf yang didayagunakan untuk rumah susun oleh nazhir sebagai pengelola serta ada peran aktif masyarakat dalam pengawasannya juga.
DAFTAR PUSTAKA
- Buku:
Abdul, Fatah, Rohadi, 2006, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, Cetakan ke-1, Bumi Aksara, Jakarta.
Al-Alabij, Adijani, 1997, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Cetakan ke-3, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
- Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006.
[1] Adijani Al-Alabij, 1997, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Cetakan ke-3, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 23.
[2] Rohadi Abdul Fatah, 2006, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, Cetakan ke-1, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 81.
[3] Ibid, hlm. 82.