Oleh : | |
AHMAD SAPRUDIN, S.Ag., M.H. |
OPTIMALISASI PERAN PERADILAN AGAMA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK PEREMPUAN DAN ANAK PASKA PERCERAIAN
Oleh : Ahmad Saprudin, S.Ag., M.H.
Wakil Ketua Pengadilan Agama Cilegon
Abstract
As one of the judicial power institutions stated in Article 24 paragraph 2 of the 1945 Constitution, the Religious Courts have the authority to examine and decide on civil disputes based on Islamic law. One of his powers is to examine and decide on divorce cases in Muslim communities. Divorce cases are cases that have the highest number of cases examined and decided by the Religious Courts. Therefore, it is appropriate for the Religious Courts to take part in providing legal protection for women and children after divorce, including by providing information services and legal assistance through information desk officers and Legal Aid Posts (POSBAKUM) which are located in almost every Religious Court office. This aims to help to reduce burdens and problems in continue the survival and development of children whose parents are separated by divorce.
Abstrak
Sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman yang dinyatakan dalam Pasal 24 ayat 2 UUD 1945, Peradilan Agama memiliki kewenangan dalam memeriksa dan memutus sengketa perdata berdasarkan hukum Islam. Salah satu kewenangannya memeriksa dan memutus perkara perceraian masyarakat yang beragama Islam. Perkara Perceraian merupakan perkara yang memiliki jumlah terbanyak yang diperiksa dan diputus Peradilan Agama. Oleh karenanya sudah selayaknya Peradilan Agama dapat mengambil bagian dalam memberikan perlindungan hukum terhadap kaum perempuan dan anak paska perceraian, antara lain dengan memberikan layanan informasi dan bantuan hukum melalui petugas meja informasi dan Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) yang terdapat hampir di setiap kantor Pengadilan Agama.Hal tersebut bertujuan membantu mengurangi beban dan persoalan dalam melanjutkan keberlangsungan hidup dan tumbuh kembang anak-anak yang kedua orang tuanya berpisah karena perceraian.
A. Pendahuluan
Dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada kaum perempuan dan anak-anak, Mahkamah Agung telah menjalin kerja sama dengan dengan Federal Court of Australia dan Family Court of Australia sejak tahun 2004. Kerja sama diperkuat kembali pada 8 Desember 2020 lalu..[1]
Pertengahan bulan Oktober tahun 2022 Mahkamah Agung Republik Indonesia juga melaksanakan kunjungan kerja ke Federal Circuit and Family Court of Australia sejak tanggal 18 – 19 Oktober 2022 serta 24, 25 dan 27 Oktober 2022 secara hybrid.[2] Sebelumnya pada tanggal 27-28 Juli 2022 di hotel Borobudur Jakarta juga diselenggarakan Dialog Yudisial tentang Hak Perempuan dan Anak pasca Perceraian.
Dalam pidato kuncinya Ketua Mahkamah Agung Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H. menyampaikan bahwa hasil penelitian yang dilakukan oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) tahun 2018 menemukan bahwa 95% dari perkara perceraian yang diputus setiap tahunnya di Indonesia, melibatkan anak berusia di bawah 18 tahun. Dengan menggunakan asumsi bahwa di Indonesia setiap keluarga rata-rata memiliki dua orang anak, maka diperkirakan lebih dari 900.000 hingga 1.000.000 anak setiap tahunnya terkena dampak dari perkara perceraian yang diajukan ke pengadilan.[3]
Menindaklanjuti kerja sama MA dan Federal Court of Australia dan Family Court of Australia (FCFCoA), Badan Peradilan Agama telah mengeluarkan surat edaran Nomor 1960/DjA/HK.00/6/2021 tanggal 18 Juni 2021 yang pada pokoknya meminta agar seluruh pimpinan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah menjamin adanya pemenuhan hak-hak perempuan dan anak, antara lain dengan menyediakan informasi mengenai hak-hak perempuan dan anak dalam bentuk flyer, brosur, banner, informasi di TV Media, dan website.[4]
Melalui kegiatan kerjasama di atas, Mahkamah Agung telah memberikan perhatian yang cukup tinggi terhadap permasalahan yang terjadi dalam sebuah keluarga, karena di situlah peradaban masyarakat suatu bangsa dan negara berawal. Termasuk di dalamnya menangani sengketa perkawinan berikut persoalan yang diakibatkan paska terjadinya perceraian. Oleh karena itu semua lingkungan Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung sudah seharusnya dapat mengikuti kebijakan pimpinan Mahkamah Agung dalam memberikan layanan hukum dan keadilan terutama pemenuhan hak-hak kepada pihak perempuan dan anak kepada masyarakat pencari keadilan,
Pada dasarnya perkawinan dilakukan untuk waktu selamanya, sampai matinya salah seorang suami istri. Sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan dalam arti bahwa bila perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini, Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha untuk melanjutkan rumah tangga.
Menurut laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Tanah Air mencapai 447.743 kasus pada 2021, meningkat 53,50% dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 291.677 kasus. Laporan ini menunjukkan kalangan istri lebih banyak menggugat cerai ketimbang suami. Sebanyak 337.343 kasus atau 75,34% perceraian terjadi karena cerai gugat, yakni perkara yang gugatannya diajukan oleh pihak istri yang telah diputus oleh Pengadilan.[5]
Berdasarkan informasi yang diperoleh serta pengalaman penulis bertugas sebagai pegawai dan hakim di beberapa satker pengadilan agama, sebagian besar perkara perceraian diajukan oleh pihak isteri (perkara cerai gugat) yang berujung dengan putusan verstek yang hanya mengabulkan gugatan perceraiannya saja, sementara keadilan yang diinginkan perempuan melalui proses cerai gugat tidak hanya persoalan perceraian saja, tetapi juga menyangkut nafkah iddah, mut’ah, hak asuh dan nafkah anak, bahkan secara psikologis, masih ditemukan stigma negatif di masyarakat kepada pihak perempuan karena predikat janda yang disandangnya.
Meskipun telah ada beberapa putusan hakim Pengadilan Agama atas perkara cerai gugat dengan pemberian mut’ah dan nafkah iddah dalam perkara cerai gugat,[6] namun putusan tersebut masih menyisakan persoalan dan kelemahan. Kelemahan tersebut tidak adanya instrumen yang dapat memaksa tergugat untuk melaksanakan isi putusan sebagaimana pada perkara cerai talak. Pelaksanaan putusan dalam cerai talak dapat dilaksanakan melalui sidang ikrar talak, sedangkan dalam perkara cerai gugat putusan dilaksanakan di luar persidangan.[7]
Kelemahan putusan ini karena tidak ada instrumen yang dapat memaksa tergugat untuk melaksanakan isi putusan maka ada kemungkinan tergugat tidak melaksanakan isi putusan secara sukarela. Apabila putusan tidak dilaksanakan secara sukarela maka upaya yang dapat ditempuh penggugat adalah dengan mengajukan permohonan eksekusi, di sisi lain eksekusi merupakan proses hukum yang cukup melelahkan bagi pihak-pihak yang berperkara, selain menyita energi juga menyita biaya yang tidak sedikit, yang seringkali tidak sebanding dengan hak yang seharusnya di terima oleh penggugat berdasarkan putusan
Persoalan lain yang sering dirasakan masyarakat adalah terkait dengan perubahan identitas kependudukan pasca terjadinya perceraian seperti perubahan data pada KTP dan Kartu Keluarga. Penulis pernah mendapat informasi dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, beberapa kali menerima pengaduan dari masyarakat terkait dengan perubahan data keluarga dalam kartu keluarga, khususnya berkenaan dengan siapa anak diasuh setelah kedua orang tuanya bercerai. Sementara ini untuk melakukan perubahan data anak dalam Kartu keluarga hanya mendengar keterangan dan pengakuan dari pihak-pihak yang berkepentingan, bukan berdasarkan putusan pengadilan.[8]
Berdasarkan uraian di atas menarik untuk diteliti tentang hak-hak isteri dan anak akibat perceraian yang diajukan pihak isteri (cerai gugat) dengan rumusan sebagai berikut;
- Bagaimana konstruksi hukum dan legal reasoningnya jika dalam putusan perkara cerai gugat disertai dengan amar putusan yang menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak asuh anak dan menghukum Suami (Tergugat) untuk memberikan mut’ah, nafkah iddah serta nafkah anak kepada pihak isteri (Penggugat) yang diserahkan sesaat sebelum pengambilan akte cerai.
- Bagaimana cara yang tepat dan efektif dalam pelaksanaan eksekusi putusan yang didalamnya terdapat kewajiban memberikan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian.
B. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian dilakukan dengan cara menganalisis hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder.[9] Penelitian hukum normatif merupakan suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.[10]
Dalam jenis penelitian hukum ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundangundangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.[11] Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) yakni upaya untuk memperoleh data dari penelusuran literatur kepustakaan, baik berupa buku, artikel, jurnal, peraturan perundangundangan, putusan pengadilan, dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian ini dengan jalan mencari, mempelajari dan mencatat serta menginterpretasikannya dengan objek penelitian.[12] Analisis data dalam penelitian ini dilakukan setelah terlebih dahulu diadakan pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan evaluasi sehingga diketahui reabilitas data tersebut, lalu dianalisis secara kualitatif untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.[13]
C. Hasil dan Pembahasan
Tingginya kasus perceraian di tanah air selama lima tahun terakhir sebagaimana dipaparkan di atas tentu menimbulkan dampak yang kurang bagus terhadap keberlangsungan kehidupan rumah tangga, terutama terhadap kaum perempuan dan anak. Fakta menunjukkan bahwa perceraian khususnya cerai gugat tidak mudah dilakukan dengan capaian keadilan bagi perempuan.
Berkenaan dengan akibat hukum perceraian telah diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Akibat dari putusnya suatu perkawinan karena perceraian antara lain;
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
- Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Sedangkan dalam pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI) akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan kewajiban mantan suami/isteri telah memuat ketentuan imperatif bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib;
- Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut Qabla ad dukhul.
- Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama masa iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
- Melunasi mahar yang masih tehutang seluruhnya, atau separo bila qabla ad dukhul.
- Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Apabila dicermati dari kedua ketentuan tersebut terdapat perbedaan. Dalam Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur akibat putusnya perkawinan karena perceraian baik untuk perkara cerai talak maupun cerai gugat, sedangkan Pasal 149 KHI hanya mengatur tentang akibat hukum perceraian yang diajukan oleh suami (cerai talak) saja. Berdasarkan ketentuan Pasal 149 KHI bahwa dalam perkara cerai gugat pada umumnya hakim tidak menghukum suami untuk memberikan mut’ah dan nafkah iddah.
Tidak mengherankan, jika sampai saat ini masih belum banyak putusan Cerai gugat yang belum menyertakan amar putusan yang berusaha memberikan hukuman kepada tergugat untuk memberikan nafkah mut’ah dan iddah kepada Pengggugat dengan beberapa alasan dan pertimbangan, antara lain;
- Gugatan penggugat tidak menyebutkan petitum yang menuntut tergugat memberikan nafkah mut’ah iddah kepada Pengggugat.
- Gugatan penggugat tidak menyebutkan petitum yang menetapkan penggugat sebagai pemegang hak asuh anak dan tidak juga menuntut tergugat memberikan nafkah anak kepada Penggugat.
- Selama pemeriksaan perkara, sebagian besar tergugat tidak pernah datang ke persidangan, sehingga perkara diputus secara verstek.
Dari paparan di atas, perlu dilakukan tela’ah dan kajian secara lebih mendalam dan terarah guna memberikan perlindungan hukum dan memenuhi hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian dengan tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada tahun 2018 Mahkamah Agung telah memberikan pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan melalui SEMA No.3 tahun 2018. Salah satu rumusannya terdapat pada huruf A Angka 3 Rumusan Hukum Kamar Agama yang isinya sebagai berikut;
“Mengakomodir Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, maka isteri dalam perkara Cerai Gugat dapat diberikanmut;ah dan nafkah iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz.”
Selanjutnya pada tahun 2019 Mahkamah Agung telah memberikan pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan melalui SEMA No.2 tahun 2019. Salah satu rumusannya terdapat pada angka 1 huruf B Rumusan Hukum Kamar Agama yang yang isinya sebagai berikut;
“Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, untuk memberi perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, maka amar pembayaran kewajiban suami terhadap isteri pasca perceraian dalam perkara Cerai Gugat dapat menambahkan kalimat sebagai berikut; “…yang dibayar sebelum Tergugatmengambil akta cerai”, dengan ketentuan amar tersebut dinarasikan dalam posita dan petitum gugatan.”
Rumusan hukum dalam kedua SEMA tersebut, dapat dijadikan pedoman bagi para pimpinan dan hakim pengadilan agama untuk membuat konstruksi hukum dan legal reasoning yang tepat dalam memberikan layanan hukum dan keadilan terutama dalam hal pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian dengan membuat format/blanko standar gugatan Cerai Gugat yang di dalamnya terdapat dan posita dan petitum yang meminta ditetapkannya penggugat sebagai pemegang hak asuh anak serta menghukum pihak suami (tergugat) memenuhi kewajibannya memberikan mut’ah, nafkah iddah dan nafkah anak kepada isteri (Penggugat) sebelum pengambilan akta cerai. Blanko surat gugatan tersebut dapat disiapkan melalui aplikasi gugatan mandiri ataupun Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM).
Dalam implementasinya, para hakim tentu akan memeriksa fakta-fakta selama persidangan untuk dijadikan pertimbangan hukum dalam putusannya, sehingga terdapat kemungkinan semua petitum penggugat dikabulkan, dikabulkan sebagian, ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima. Namun setidak-tidaknya Pengadilan sudah berupaya membantu masyarakat pencari keadilan dalam memberikan informasi dan arahan dalam pembuatan surat gugatannya.
Selanjutnya dalam upaya memberikan solusi dan kemudahan dalam pelaksanaan ekesekusi putusan yang didalamnya terdapat pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian, selain dapat ditempuh dengan cara memberikan arahan dan panduan kepada para pihak berperkara dalam pembuatan format gugatan, juga dapat ditempuh dengan membuat Sistem interkoneksi Putusan Pengadilan (Sebuah Pemikiran Metabolisme Biological Justice), sistem tersebut digagas Prof. Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.H., Ketua Kamar Mahkamah Agung Republik Indonesia saat acara pengukuhannya sebagai guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya pada hari Senin, 14 Maret 2022.”
Sistem Interkoneksi pelaksanaan putusan pengadilan yang dimaksud adalah pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian melalui pengadilan dengan melibatkan lembaga non yudikatif secara terintegrasi sesuai kewenangan masing-masing tanpa melalui proses permohonan eksekusi. Kerangka baru ini akan menjadikan lembaga di luar yudikatif sebagai mitra eksternal dalam pelaksanaan putusan-putusan pengadilan berbasis single identity (identitas tunggal) yang berkolaborasi sekaligus bersinergi satu sama lain.[14]
Menurutnya, Sistem Interkoneksi tersebut dapat dilakukan dengan kerja sama lembaga di luar yudikatif sebagai mitra eksternal untuk efektivitas pelaksanaan putusan pengadilan pasca perceraian. Seperti melibatkan Kemendagri, Kemenkumham, OJK, hingga kepolisian. Menurutnya, Indonesia dapat mencontoh negara Mesir yang membentuk lembaga dana asuransi bersama (Shunduq Ta'min Al-Usrah) berdasarkan UU Mesir No.11 Tahun 2004. Dalam hal ini, istri yang diceraikan beserta anak dalam pengasuhannya akan bisa memperoleh nafkah yang ditetapkan pengadilan sesegera mungkin melalui Nasser Social Bank tanpa harus menunggu pihak suami melaksanakan kewajibannya. Praktik tersebut menjadi salah satu contoh penerapan interkoneksi sistem dalam menjamin terpenuhinya hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian.
D. Simpulan
Untuk memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian diperlukan upaya serius dengan pendekatan sebagai berikut;
- Secara internal, dengan cara menyediakan format/blanko standar gugatan Cerai Gugat yang di dalamnya terdapat dan posita dan petitum yang meminta ditetapkannya penggugat sebagai pemegang hak asuh anak serta menghukum pihak suami (tergugat) memenuhi kewajibannya memberikan mut’ah, nafkah iddah dan nafkah anak kepada isteri (Penggugat) sebelum pengambilan akta cerai.
- Secara eksternal dengan membuat sebuah Sistem Interkoneksi pelaksanaan putusan pengadilan, yakni sebuah sistem yang dibuat dengan tujuan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraiandengan melibatkan lembaga non yudikatif secara terintegrasi sesuai kewenangan masing-masing tanpa melalui proses permohonan eksekusi.
DAFTAR PUSTAKA
Fachri, Ferinda K. “Amran Suadi Gagas Sistem Interkoneksi, Solusi Pelaksanaan Putusan Perceraian.” hukumonline.com. Accessed October 28, 2022. https://www.hukumonline.com/berita/a/amran-suadi-gagas-sistem-interkoneksi--solusi-pelaksanaan-putusan-perceraian-lt622f14fa76f93/.
Heniyatun, Heniyatun, Puji Sulistyaningsih, and Siti Anisah. “PEMBERIAN MUT’AH DAN NAFKAH IDDAH DALAM PERKARA CERAI GUGAT.” Profetika: Jurnal Studi Islam 21, no. 1 (July 21, 2020): 39–59.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.
Sri Mamudji, Soerjono Soekanto. Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Zainal Asikin, Amiruddin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Zainuddin Ali. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2004.
“Kasus Perceraian Meningkat 53%, Mayoritas Karena Pertengkaran | Databoks.” Accessed October 26, 2022. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/02/28/kasus-perceraian-meningkat-53-mayoritas-karena-pertengkaran.
“Mahkamah Agung Republik Indonesia.” Accessed October 21, 2022. https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/5309/ketua-ma-menerima-kunjungan-persahabatan-fcfcoa.
“Mahkamah Agung Republik Indonesia.” Accessed October 25, 2022. https://www.mahkamahagung.go.id/id/pengumuman/5457/undangan-untuk-mengikuti-sesi-sesi-dalamkunjungan-kerja-mahkamah-agung-ri-ke-fcfcoa-18-19-oktober-2022-dan-2425-27-oktober-2022.
“Mahkamah Agung Republik Indonesia.” Accessed October 21, 2022. https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/5317/mahkamah-agung-dan-fcfcoa-gelar-diskusi-tentang-hak-perempuan-dan-anak-pasca-perceraian.
“Surat Pemenuhan Hak Istri Dan Anak Pascaperceraian.Pdf.” Google Docs. Accessed October 26, 2022. https://drive.google.com/file/d/1eks81DrSIjLiwIWDTixE7Mx1nkFLvK_i/view?usp=sharing&usp=embed_facebook.
[1] “Mahkamah Agung Republik Indonesia,” accessed October 21, 2022, https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/5309/ketua-ma-menerima-kunjungan-persahabatan-fcfcoa.
[2] “Mahkamah Agung Republik Indonesia,” accessed October 25, 2022, https://www.mahkamahagung.go.id/id/pengumuman/5457/undangan-untuk-mengikuti-sesi-sesi-dalamkunjungan-kerja-mahkamah-agung-ri-ke-fcfcoa-18-19-oktober-2022-dan-2425-27-oktober-2022.
[3] “Mahkamah Agung Republik Indonesia,” accessed October 21, 2022, https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/5317/mahkamah-agung-dan-fcfcoa-gelar-diskusi-tentang-hak-perempuan-dan-anak-pasca-perceraian.
[4] “Surat Pemenuhan Hak Istri Dan Anak Pascaperceraian.Pdf,” Google Docs, accessed October 26, 2022, https://drive.google.com/file/d/1eks81DrSIjLiwIWDTixE7Mx1nkFLvK_i/view?usp=sharing&usp=embed_facebook.
[5] “Kasus Perceraian Meningkat 53%, Mayoritas Karena Pertengkaran | Databoks,” accessed October 26, 2022, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/02/28/kasus-perceraian-meningkat-53-mayoritas-karena-pertengkaran.
[6] Putusan tersebut dengan berpedoman kepada SEMA No.3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman Peaksanaan Tugas Pengadilan
[7] Heniyatun Heniyatun, Puji Sulistyaningsih, and Siti Anisah, “PEMBERIAN MUT’AH DAN NAFKAH IDDAH DALAM PERKARA CERAI GUGAT,” Profetika: Jurnal Studi Islam 21, no. 1 (July 21, 2020): 39–59.
[8] Hasil audiensi dan penjajakan Perjanjian Kerja Sama antara Pengadilan Agama Kota Cilegon dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Cilegon pada tanggal 27 Oktober 2022 yang bertempat di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Cilegon
[9] Soerjono Soekanto Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003).h.13
[10] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005)., h.35
[11] Amiruddin Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006).h.118
[12] Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). ,h. 224
[13] Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2004), 3.
[14] Ferinda K. Fachri, “Amran Suadi Gagas Sistem Interkoneksi, Solusi Pelaksanaan Putusan Perceraian,” hukumonline.com, accessed October 28, 2022, https://www.hukumonline.com/berita/a/amran-suadi-gagas-sistem-interkoneksi--solusi-pelaksanaan-putusan-perceraian-lt622f14fa76f93/.